Opini  

Soal Pengeras Suara di Masjid, Mengapa Jadi Masalah?

Dr. Syarief Makhya

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung

Setiap saya pulang kota ke rumah Ibu saya di Jl. Kembar Timur, Bandung dalam dua tahun terakhir tidak lagi terdengar kumandang suara azan saat sholat lima waktu, ketika saya saya tanya ke ibu saya, katanya ketua RT nya tidak mengizinkan lagi pengurus masjid mengumandangkan suara azan melalui speaker atau pengeras suara, karena warga disekitar masjid merasa terganggu dengan suara azan atau pengajian yang sangat keras terdengar ke luar.

Sebenarnya mengumandangkan suara azan atau pengajian dengan penggunaan toa atau pengeras suara di masjid dan mushola harus dilihat lingkungan di sekitar masjid tersebut. Jika di sekitar masjid tersebut masyarakatnya plural atau berada dilingkungan tertentu yang dianggap bisa menggangu kenyamanan berkerja dan beristirahat, bisa saja dibicarakan bersama dengan pengurus masjid atau ketua RT agar diatur sedemikian rupa misalnya mengecilkan volume pengeras suara atau pengeras suara digunakan pada acara tertentu.

Jadi, cukup diselesaikan di masyarakat bawah, tidak perlu heboh, seperti sekarang: diatur melalui Surat Edaran Mentri Agama, kemudian digeneralisasi berlaku di semua daerah tanpa kecuali. Oleh karena itu, mudah dipahami kalau Ketua Umum LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Fauzi Bahar Dt Nan Sat menyatakan bahwa pernyataan Menteri Agama itu telah melukai hati masyarakat Minangkabau yang penganut Islam dan memiliki falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK).

Dari sisi momentum penyampaian juga tidak tepat. Pertama, pernyataan Pak Menag tentang SE kepada  publik tidak disampaikan secara untuh dan penjelasan nya tidak argumentatif, yang kemudian di-framing dengan mencoba membelokkan fakta secara halus. Caranya dengan memilih angle (sudut pandang) yang berbeda. Mereka memotong dan mengambil diksi membenturkan antara azan dengan suara anjing.

Kedua, dari sisi managemen konflik bisa saja SE Menag itu sekadar mengalihkan isu karena sampai sekarang persoalan kelangkaan minyak goreng belum bisa diatasi secara efektif. Ketiga, SE Menag menggeneralisasi seolah-olah lingkungan sosial disamaratakan, sehingga menjadi kontroversial di masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Sentralisasi Kewenangan

Aturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid sebenarnya sudah dikeluarkan sejak tahun 1978. Jadi hamir sekitar 44 tahun lebih diberlakukan dan sekarang diperbaharui dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Artinya, bahwa pengaturan pengeras suara di masjid selama ini itu tidak efektif; kekuatan hukumnya tidak mengikat. Subtansi SE Mentri Agama lebih condong dikategorikan sebagai bentuk himbauan bukan sejenis instruksi yang mengikat masyarakat.

Dari sisi regulasi, urusan agama memang menjadi urusan pemerintah pusat dalam hal ini kementrian agama, oleh karena itu mudah dipahami kalau untuk mengatur masalah pengeras suara saja di masjid harus dengan kewenangan Mentri, pada hal masalah yang nyata yang tahu persis dampak pengeras suara adalah masyarakat yang yang tinggal disekitar masjid tersebut.

Boleh jadi, dalam masyarakat yang homogen yang mayoritas penduduknya beragama Islam alat pengeras suara di masjid tidak menjadi masalah baik ketika volume suaranya dikeraskan atau dikecilkan. Namun, di wilayah penduduknya yang heteregon, pengeras suara yang volume terdengar jauh dan sangat keras saat jumatan, shalat tarawih, tadarusan atau peringatan hari keagamaan akan menganggu kenyamanan di wilayah sekitar masjid.

Lingkungan sosial masyarakat yang ada disekitar masjid itu sebenarnya yang harus memutuskan dengan cara musyawarah dan disepakati bersama antar warga dan ketua RT. Jadi, tidak perlu secara formal Mentri Agama mengatur dengan mengeluarkan SE keputusan pengaturan pengeras suara yang seragam, pada hal realitas sosial keagamaannya tidak sama dan akhirnya menimbulkan persepsi yang tidak sama di masyarakat.

Memudarnya Kepekaan Masyarakat?

Dari fenomena pengeras suara masjid yang menjadi heboh itu, mekanisme masyarakat untuk berinsiatif mengambil dan memecahkan masalah di lingkungan masyarakat sendiri menjadi rapuh, pasif dan masa bodoh, akibatnya hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan di masyarakat bawah, diambil alih oleh Negara, pada hal belum tentu efektif.

Sementara kebiasaan masjid mengumandangkan suara azan atau pengajian dengan volume suara yang keras, dalam situasi sekarang realitas lingkungannya sudah mulai berubah, antara lain jumlah penduduk yang semakin padat, batas dan jarak antar kelurahan semakin dekat, masyarakat sudah berasal dari berbagai suku dan agama, dst, artinya cukup beralasan jika ada kesepakatan bersama kalau pengeras suara masjid itu diatur dilingkungan masyarakat. Apa lagi sekarang di kota-kota dan sebagian di desa-desa masyarakat sudah pegang HP dan ada aplikasi azan otomatis yang bisa membantu untuk mengingatkan saat waktu untuk sholat tiba.

Kata kuncinya adalah kesepakatan bersama di kalangan masyarakat. Di sinilah tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua RT dan para aktivis duduk bersama untuk membangun kesepakatan tersebut. Tapi, karena tidak ada kepedulian dikalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama, akhirnya bersikap masa bodoh dan cuek, semua menggantungkan kepada keputusan kementrian agama.***