Opini  

Sebab-Akibat Banjir

Luapan air sungai Cipunagara mulai memasuki pemukiman warga Pamanukan, 10 Januari 2020. Foto: Aksarajabar/Pikiran Rakyat

Toto Dartoyo

Seorang kawan saya (beliau adalah guru di sebuah SD di dataran tinggi wilayah Cilacap) pernah menginformasikan bahwa di daerah pegunungan tempatnya mengajar dulu (entah sekarang), terjadi penebangan hutan secara membabi buta tanpa ada upaya reboisasi sama sekali. Beberapa tahun kemudian terjadilah musibah nasional (longsor) di sana. Kawan saya selamat karena sudah berpindah tugas ke wilayah lain.

Kita pun pernah menyaksikan bencana 19 Januari 2014 di wilayah Pamanukan yang memutus dan menutup akses jalan nasional. Saya masih ingat betul peristiwa itu karena saat itu saya ditemani anak kedua saya hendak pulang dari wilayah Cirebon menuju Cikampek, tempat kami tinggal.

Sebelum berangkat saya sempat mendengar berita yang mengabarkan terjadi banjir besar di wilayah Pamanukan dan memutus akses jalan ke barat dan timur. Karena besoknya saya harus bekerja, saya putuskan untuk tetap berangkat melewati jalur Indramayu bagian selatan. Saya menamainya “jalur tengah” karena ada “jalur selatan” dan “jalur utara (pantura)”. Jalur Tengah ini berada di antara keduanya.

Perkiraan saya benar. Melewati wilayah Sumedang bagian utara dan Indramayu bagian selatan yang relatif lebih tinggi dibanding wilayah Pamanukan itu, jalanan masih lancar dan bebas banjir. Kala itu, akses jalan tol belum tersedia. Jika ada saya pasti akan melewatinya berhubung waktu tempuh yang cukup singkat sekitar satu hingga dua jam saja. Sekali lagi saya harus bekerja esok hari.

Sialnya, di jalan yang bisa ditempuh sekitar empat atau lima jam saja, harus tersendat tepat di wilayah Pamanukan bagian selatan sebelum memasuki kota Subang. Saya tidak menduga, orang-orang dari Jakarta yang hendak ke wilayah timur seperti Cirebon, Tegal, dan sebagainya memiliki pikiran yang sama dengan saya. Mereka tentu berpikir akan melewati jalur alternatif yang terbebas dari genangan banjir, sehingga di jalur tengah itulah kami harus bertemu. Pertemuan antara kendaraan-kendaraan dari Cirebon ke Jakarta dan kendaraan-kendaraan dari arah sebaliknya yang berakibat macet total. Perkiraan saya, kemacetan itu mengular dari Subang hingga Kadipaten di Majalengka. Luar biasa.

Terpaksa kami harus menginap semalaman di wilayah tersebut. Jalanan macet total dan tidak bisa bergerak. Kalaupun harus bergerak, paling banter setelah lima belas menit atau setengah jam berhenti. Itu pun hanya maju lima atau enam meter dan berhenti kembali. Begitu seterusnya. Bahkan sering kami kena “semprot” klakson dari belakang karena “tertidur” saat menunggu mobil maju pada tengah malam.

Waktu itu saya berangkat sekitar pukul enam sore dan tiba di rumah keesokan harinya pada pukul enam sore lagi. Total 24 jam waktu tempuh dari Cirebon-Cikampek yang biasanya hanya ditempuh sebentar saja. Maka, kalau sekarang saya kena macet dimanapun, saya sudah tahan karena memiliki pengalaman macet yang sangat parah.

Yang menarik di sini tentu bukan narasi bagaimana saya terjebak kemacetan (sebab saat itu yang saya alami teramat melelahkan dan menguras emosi), tetapi sebuah pertanyaan mengapa di wilayah Pamanukan ketika itu terjadi musibah banjir yang mematikan akses jalan pantura? Ini yang menarik karena jawabannya mengingatkan saya pada apa yang diinformasikan oleh kawan saya di atas.

Akibat penebangan pohon di wilayah dataran yang lebih tinggi, imbasnya pasti terjadi pada wilayah yang lebih rendah. Yang terjadi di Pamanukan ini, dugaan saya mengarah ke sana. Di bagian selatan Pamanukan itu, saya dan anak saya menyaksikan pemandangan “menakjubkan” yang membuat hati masygul. Pagi hari saat matahari mulai terang, tampak pemandangan “sebab akibat” dari banjir yang terjadi di bagian utara.

Sambil mengendarai mobil yang tersendat-sendat, tampak di kanan kiri, pohon-pohon besar yang biasa kami jumpai kalau kami melewati jalur tengah, kini tampak sudah tak ada lagi. Pohon-pohon karet atau mahoni atau entah pohon jati atau apa (saya tidak mengetahui persis) sudah menghilang. Saya hanya menduga-duga, pohon-pohon itu di tebang oleh pemerintah setempat karena sudah saatnya diremajakan kembali untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Yang menjadi keyakinan saya kemudian adalah aturan yang berupa hukum “sebab-akibat” dari alam semesta. Saya yakin, sebagian besar wilayah yang terdampak banjir pasti berada di daerah yang lebih rendah. Artinya, di sekitar daerah itu ada wilayah yang lebih tinggi dan berhutan yang tak berhutan lagi. Dan wilayah hutan itu telah pergi entah ke mana!

Pelajaran yang bisa kita diambil di sini adalah jangan pernah menyalahkan alam jika alam ini sudah “ngamuk”, sebab tingkah laku alam tidak pernah salah. Ia selalu benar karena diciptakan oleh Yang Maha Benar. Kalau ada yang salah seperti banjir, banjir bandang, longsor, tanah amblas, gempa bumi dan sebagainya di suatu daerah, berarti ada yang tidak benar di daerah itu. Ketidakbenarannya terletak pada pengingkaran terhadap hukum alam itu sendiri. Tabik.