Opini  

Perubahan Fokus Pendidikan di Indonesia

Bangun Pracoyo/Foto: Ist

Oleh Bangun Pracoyo

Ada empat faktor yang menyebabkan perubahan fokus pendidikan di Indonesia yaitu: (1) kemajuan teknologi yang mendorong Revolusi Industri 4.0 bersama dengan terobosan-terobosan yang menyertainya mempengaruhi segala sektor kehidupan;(2) secara sosio-kultural, terjadi pergeseran demografi dan profil sosioekonomi populasi dunia.;(3) pada bidang lingkungan hidup, kebutuhan akan energi dan air akan terus naik, sedangkan sumber daya alam akan menipis dalam 20 (dua puluh) tahun ke depan;(4) dunia kerja masa depan akan sangat berbeda dari keadaan sekarang. Empat hal tersebut menjadi pertimbangan kebijakan Merdeka Belajar.

Kemendikbud, melalui kebijakan Merdeka Belajar, berupaya merangkul semua pemangku kepentingan pendidikan dan kebudayaan antara lain keluarga, pendidik dan tenaga kependidikan, lembaga pendidikan, industri dan pemberi kerja, serta masyarakat untuk menghela semua potensi bangsa menyukseskan pemajuan pendidikan dan kebudayaan yang bermutu tinggi bagi semua rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesi Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020 – 2024. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 yang selanjutnya disebut Renstra Kemendikbud adalah dokumen perencanaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2020 sampai dengan tahun 2024 yang merupakan penjabaran dari RPJMN.

Dalam periode Renstra Kemendikbud Tahun 2015-2019, Kemendikbud telah meningkatkan upaya untuk perluasan akses pendidikan bagi semua warga negara, memeratakan mutu pendidikan, meningkatkan relevansi lulusan, dan memajukan tata kelola budaya dan bahasa Indonesia. Perhatian khusus diberikan kepada masyarakat marginal dari segi lingkungan geografis dan kondisi ekonomi.

Banyak keberhasilan yang diperoleh pada Periode 2015-2019 akan tetapi hasil pembelajaran tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi masih belum menggembirakan. Pada pendidikan dasar dan menengah, hasil yang dicapai oleh peserta didik Indonesia dalam tes PISA sudah menunjukkan kemajuan, namun ada banyak ruang untuk pengembangan. Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam hasil tes PISA tahun 2018. Untuk bidang matematika, misalnya, Indonesia berperingkat 72 (tujuh puluh dua) dari 78 (tujuh puluh delapan) negara yang berpartisipasi dalam PISA.

Hasil yang kurang lebih sama ditunjukkan untuk tes sains dan membaca. Nilai tes PISA Indonesia juga memperlihatkan tren stagnan. Tidak ada lonjakan peningkatan nilai selama periode 18 (delapan belas) tahun. Namun demikian, selisih nilai peserta didik Indonesia dengan rerata nilai peserta didik negara-negara maju yang terhimpun dalam OECD menunjukkan tren pengurangan untuk semua bidang yang diujikan. Contohnya, selisih nilai Matematika peserta didik Indonesia dengan negara-negara OECD sebesar 139 (seratus tiga puluh sembilan) poin pada tahun 2000. Selisih nilai itu berkurang menjadi 115 (seratus lima belas) poin pada tahun 2018.

Berkenaan dengan hasil non-akademik, seperti pendidikan sikap dan perilaku, data yang dimiliki Kemendikbud juga menunjukkan perlunya perbaikan. Dalam hal perundungan (bullying) dan kerangka pikir kemajuan (growth mindset). Hasil survey menunjukkan 41% (empat puluh satu persen) peserta didik Indonesia melaporkan mengalami perundungan beberapa kali dalam satu bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata negara OECD sebesar 23% (dua puluh tiga persen). Peserta didik yang sering mengalami perundungan mencapai nilai membaca 21 (dua puluh satu) poin lebih rendah. Mereka juga merasa sedih, takut, dan tidak puas dengan kehidupan mereka. Peserta didik seperti ini lebih mungkin untuk absen sekolah.

Ada berbagai isu yang berkontribusi pada rendahnya hasil pembelajaran peserta didik Indonesia. Pertama, pedagogi dan efektivitas pengajaran para guru Indonesia masih perlu diperbaiki. Guru sering bertindak sebagai penerus pengetahuan, bukan fasilitator pembelajaran. Banyak guru disinyalir tidak memfokuskan pengembangan karakter dan membangkitkan keinginan belajar.

Dalam hal guru mengajukan pertanyaan, sekitar 90% (sembilan puluh persen) dari tanggapan siswa hanya berupa jawaban satu kata. Cara guru bertanya bersifat dangkal, belum mendukung munculnya keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kemampuan menjelaskan logika pemikiran

Kedua, kurikulum yang berlaku di Indonesia sering dipandang kaku dan terfokus pada konten. Tidak banyak kesempatan tersedia untuk betulbetul memahami materi dan berefleksi terhadap pembelajaran. Isi kurikulum juga dianggap terlalu teoretis, sulit bagi guru untuk menerjemahkannya secara praktis dan operasional dalam materi pembelajaran dan aktivitas kelas.

Ketiga, infrastruktur sekolah kurang memadai, termasuk yang diakibatkan oleh bencana, seperti di Kota Palu dan sekitarnya, Pulau Lombok dan sekitarnya, serta Kawasan Pesisir Selat Sunda. Secara umum masih banyak ruang kelas di sekolah Indonesia berada dalam kondisi rusak, baik rusak ringan, sedang maupun berat. Selain itu, Indonesia juga mengalami kekurangan fasilitas laboratorium dan perpustakaan. Fasilitas yang sudah ada pun belum dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan mutu pembelajaran.

Keempat, tata kelola pendidikan Indonesia juga belum mendukung maksimalnya hasil pembelajaran peserta didik. Ada indikasi bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pelatihan guru dan bantuan sekolah tidak menunjukkan korelasi yang berarti dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Guru dan kepala sekolah tidak diberikan insentif nyata untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Adapun sejumlah besar guru honorer dibayar di bawah upah minimum regional.

Berdasarkan hal tersebut Kemdikbud berupaya meningkatkan mutu pendidikan dan memajukan kebudayaan. Arah kebijakan terfokus pada Visi Kemendikbud 2020-2024 yaitu mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global.

Arah kebijakan dan strategi pendidikan dan kebudayaan pada kurun waktu 2020-2024 dalam rangka mendukung pencapaian 9 (sembilan) Agenda Prioritas Pembangunan (Nawacita Kedua) dan tujuan Kemendikbud melalui Kebijakan Merdeka Belajar yang bercita-cita menghadirkan pendidikan bermutu tinggi bagi semua rakyat Indonesia, yang dicirikan oleh angka partisipasi yang tinggi diseluruh jenjang pendidikan, hasil pembelajaran berkualitas, dan mutu pendidikan yang merata baik secara geografis maupun status sosial ekonomi.

Selain itu, fokus pembangunan pendidikan dan pemajuan kebudayaan diarahkan pada pemantapan budaya dan karakter bangsa melalui perbaikan pada kebijakan, prosedur, dan pendanaan pendidikan serta pengembangan kesadaran akan pentingnya pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan penyerapan nilai baru dari kebudayaan global secara positif dan produktif.

Perubahan yang diusung oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan terjadi pada kategori: (1) ekosistem pendidikan; (2) guru; (3) pedagogi; (4) kurikulum; dan (5) sistem penilaian. Pada ekosistem pendidikan, Kemendikbud akan mengubah pandangan dan praktik yang bersifat mengekang kemajuan pendidikan, seperti penekanan pada pengaturan yang kaku, persekolahan sebagai tugas yang memberatkan, dan manajemen sekolah yang terfokus pada urusan internalnya sendiri menjadi ekosistem pendidikan yang diwarnai oleh suasana sekolah yang menyenangkan, keterbukaan untuk melakukan kolaborasi lintas pemangku kepentingan pendidikan, dan keterlibatan aktif orang tua murid dan masyarakat.

Berkaitan dengan guru, Kebijakan Merdeka Belajar akan mengubah paradigma guru sebagai penyampai informasi semata menjadi guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar. Dengan demikian guru memegang kendali akan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di ruang kelasnya masing-masing. Penghargaan setinggi-tingginya bagi profesi guru sebagai fasilitator dari beragam sumber pengetahuan akan diwujudkan melalui pelatihan guru berdasarkan praktik yang nyata, penilaian kinerja secara holistik, dan pembenahan kompetensi guru.

Dalam hal pedagogi, Kebijakan Merdeka Belajar akan meninggalkan pendekatan standardisasi menuju pendekatan heterogen yang lebih paripurna memampukan guru dan murid menjelajahi khasanah pengetahuan yang terus berkembang. Murid adalah pemimpin pemelajaran dalam arti merekalah yang membuat kegiatan belajar mengajar bermakna, sehingga pemelajaran akan disesuaikan dengan tingkatan kemampuan siswa dan didukung dengan beragam teknologi yang memberikan pendekatan personal bagi kemajuan pemelajaran tiap siswa, tanpa mengabaikan pentingnya aspek sosialisasi dan bekerja dalam kelompok untuk memupuk solidaritas sosial dan keterampilan lunak (soft skills). Dengan menekankan sentralitas pemelajaran siswa, kurikulum yang terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan lunak, dan akomodatif terhadap kebutuhan DU/DI. Sistem penilaian akan bersifat formatif/mendukung perbaikan dan kemajuan hasil pemelajaran dan menggunakan portofolio.

Untuk pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan dalam rangka mewujudkan Pendidikan Nasional maka sekolah harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem Pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia . Standar Nasional Pendidikan mencakup a. standar kompetensi lulusan; b. standar isi; c. standar proses; d. standar penilaian Pendidikan; e. standar tenaga kependidikan; f. standar sarana dan prasarana; g. standar pengelolaan; dan h. standar pembiayaan. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai acuan pengembangan 7 standar lainnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa Standar kompetensi lulusan pada Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan dasar difokuskan pada penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta kompetensi literasi dan numerasi Peserta Didik.

Berdasarkan survei tidak resmi — hanya menanyakan kepada para guru pada saat berbincang-bincang atau dalam forum pelatihan apakah sudah membaca SNP terbaru? — sebagian besar atau hampir semua mengatakan belum membaca SNP terbaru. Kalau SNP yang terbaru belum dibaca berarti acuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disusun sekolah masih berpedoman pada SNP lama. Perlu sinergi semua pihak agar perubahan fokus baru pendidikan di Indonesia diikuti oleh semua gerbong insan pendidikan. Tidak ada gerbong yang tertinggal. Apa pun alasannya.****

*Pengawas Sekolah Dindikbud Kabupaten Purbalingga, Jawa Tentgah; Asesor Program Sekolah Penggerak Kemdikbudristek RI