Suparwoko, PhD dan Dr. Eng. IB Ilham Malik
Sekalipun Ibu Kota Negara (IKN) telah secara resmi dicanangkan pembangunannya di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, namun pro – kontra keberadaan IKN masih terus berlangsung. Artinya, sebagian dari masyarakat ada yang setuju dan sebaliknya. Mereka yang setuju memiliki alasan bahwa wilayah DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk dan bangunan merupakan daerah yang rawan banjir dan tingkat kemacetan tinggi.
Alasan mereka yang menolak pindah IKN hal itu adalah permasalahan perkotaan, sehingga pemindahan IKN tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada di DKI Jakarta. Selain itu, saat ini pemindahah IKN waktunya belum tepat karena, pertama, masa pandemi belum berakhir dan cenderung meningkat dengan sejumlah varian baru Covid-19. Kedua, kondisi sosial ekonomi masih sangat kritis dengan banyaknya kemiskinan, pekerjaan dan pengangguran akibat pandemi, serta kenaikan harga barang yang teus meningkat.
Di luar masalah IKN yang masih pro – kontra, penulis ingin menyampaikan konsep tata ruang IKN yang saat ini masih kurang sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi, yaitu membangun dari pinggiran.
Membangun Indonesia dari pinggiran itu identik dengan membangun dan memberdayakan masyarakat, yaitu konsep pembangunan partisipatif, masyarakat daerah merupakan kelompok yang seharusnya berada di garis terdepan penyampaian aspirasi terkait kondisi sosial kemasyarakatan, baik itu sosial, politik, ekonomi dan banyak aspek lainnya. Sehingga, kebijakan tersebut merupakan proses pembangunan perekonomian Indonesia yang merata, tidak hanya terpusat di Jawa tapi juga menyebar ke timur barat dan pulau-pulau lainnya. Kue ekonomi, harapannya tidak hanya tumbuh di pusat tapi juga di daerah. Ibaratnya tidak hanya “gurih” di kota, tetapi juga “manis ” sampai terasa ke desa atau pinggiran.
Kata “kue ekonomi” yang disampaikan Presiden Joko Widodo sangatlah penting, yaitu uang atau dana pembangunan di NKRI, yang cenderung masih bersumber pada anggaran belanja negara yang akan memantik kegiatan sektor swasta, seperti industri konsumsi, manufaktur, konstruksi, dan lainnya. Sehingga, posisi kementerian sebagai pengguna anggaran pembangunan tahunan menjadi strategis. Berdasarkan skema pendanaan ini maka keberadaan kementerian sangat strategis sebagai motor pembangunan sosial ekonomi untuk pemerataan pembangunan di Indonesia.
Konsep IKN selama ini adalah IKN tunggal yang berada di satu tempat atau lokasi. Padahal konsep pembangunan IKN ada dua, yaitu mono capital dan multi capital. Mono capital seperti IKN di Indonesia saat ini, yaitu di Jakarta. Sangat banyak negara yang menganut IKN mono capital. Namun sebagaian negara seperti, Malaysia, Bolivia, Nigeria dan lainnya memiliki IKN lebih dari satu. Malaysia memiliki IKN di Kuala Lumpur namun kota administrasi negara ada di Putrajaya. Bolivia memilika dua capital cities yaitu Sucre sebagai constitutional capital dan La Paz sebagai executive capital.
Berdasarkan konsep membangun IKN dari pinggiran untuk pemerataan pembangunan dan IKN multi kapital karena luasnya NKRI, maka perlu membangun IKN dengan pendekatan multi capital karena sangat beralasan bahwa Indonesia dengan 17.000 pulau di wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Jika alternatif IKN multi capital cities bisa dikembangkan di NKRI maka perlu dilakukan pendekatan penempatan kementerian teknis untuk mengawal pembangunan wilayah sesuai dengan potensi dan letaknya.
Kementerian-kementrian koordinator harus berada di pusat IKN Bersama istana negara dan kementrian pertahanan. Sedangkan kementrian teknis seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, sosial, dsb perlu berada di berbagai wilayah yang sesuai potensinya. Misalnya, Kementerian Kehutanan akan berada di Provinsi Kalimantan Tengah atau Timur; Kementerian Pertambangan dan Pemudan & Olah Raga akan berada di Provinsi Papua; Kementerian Pendidikan Nasional berada di DI Yogyakarta; Kementrian Pariwisata akan berada di Bali atau Raja Ampat, Kementerian Pertanian akan berada di Provinsi Lampung, Kementerian Agama akan berada di Aceh, Kementerian Sosial akan di NTT atau NTB, Kementerian PU akan berada di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, dan seterusnya. Inilah potensi nyata untuk pemerataan kue pembangunan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan kebinekaan potensi alam dan budaya.
Konsep multi capital ini sangat memungkinkan dilaksanakan. Apalagi pemerintah ada rencana untuk membangun 10 metropolitan baru. Mungkin jumlahnya bisa ditambah untuk dapat direalisasikan dalam kurun 15-20 tahun ke depan. Mungkin bisa ditambah menjadi 15-20 metropolitan baru pula. Dan supaya bisa terwujud nyata, maka perlu ada otorita bisnis di setiap metropolitan yang bisa berjalan seiring dengan pemerintah daerah setempat yang akan mengurus urusan administrasinya.
Kami melihat konsep ini layak untuk dipertimbangkan. Karena pemerataan pembangunan dengan metropolitan baru membutuhkan pemicu (trigger) di masing-masing metropolitan baru tersebut. Trigger-nya adalah kantor kementerian tadi, yang bisa disebar di mana-mana sesuai dengan tugas utama mereka dan daerah dimana mereka berada.
Perencanaan semacam ini membutuhkan komprehensivitas dalam pelaksanaannya. Jika di dunia teknik konstruksi dan semacamnya ada BIM (building information modelling) maka dalam pembangunan kota juga harusnya ada UDM (urban development management) yang akan memastikan semua berjalan sesuai rencana dan harapan masyarakat.***
*Ar. Suparwoko, Ir. MURP. PhD. IAI. IAP adalah Ketua Prodi S2 Arsitektur UII & Dr Eng Ir IB Ilham Malik IPM adalah Dosen PWK ITERA
Artikel ini merupakan republish dari Teraslampung.com