Juwendra Asdiansyah
Yang paling sedih bukan kematian,
tapi kehilangan
Yang paling pedih bukan perpisahan,
tapi ditinggalkan
SIAPAKAH yang mampu menghindari duka? Bahkan Muhammad SAW, manusia paling mulia, pun tiada kuasa saat el maut menceraikannya dari orang-orang terkasih.
Rasulullah dibekap duka ketika pamannya, Abu Thalib, juga Khadijah, istrinya, wafat. Keduanya pergi dalam rentang yang sangat dekat. Begitu beratnya kesedihan, Rasul sampai menyebut tahun ke sepuluh kenabian tersebut sebagai ‘am al-huzn/‘amul hazn atau tahun duka.
Dalam gelombang kesedihan, Nabi harus menenangkan keempat putrinya yang tak kalah bersedih ditinggal ibunda tersayang. Untuk menghibur Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah, beliau berkata bahwa Jibril baru saja datang dan menyampaikan, “Allah sudah menyiapkan tempat tinggal terbaik untuk Khadijah di surga.”
Duka belum selesai. Ia kembali datang, berkali-kali. Rasul harus kehilangan putri-putrinya, satu demi satu, hingga tinggal Sayyidah Fatimah seorang. Dalam nelangsa, dengan kedua tangannya, Nabi menguburkan sendiri semua buah hatinya.
Duka belum cukup. Puncak kesedihan terjadi pada 10 Hijriah, saat Ibrahim, anak lelaki satu-satunya yang tersisa, menyusul wafat. Putra tercinta, hasil pernikahan Nabi dengan Sayyidah Mariyatul Qibthiyah, meninggal dalam usia balita.
Kesedihan sudah dimulai sejak Nabi diberi tahu ihwal putranya sakit dan tampak ajalnya sudah dekat. Menuju tempat Ibrahim tinggal bersama ibunya, Rasul berjalan dengan memegang tangan Abdurrahman bin ‘Auf dan bertumpu kepadanya.
Demi melihat Ibrahim dalam pelukan Maria Qibthi dengan tarikan-tarikan nafas terakhir, diambilnya anak itu, lalu diletakkan Rasul di pangkuannya. Tangannya bergetar. Wajahnya suram, cermin hati yang patah. Di antara gemuruh kesedihan, Rasul berkata, “Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah SWT.”
Dalam hening, air mata kekasih Allah itu berderai. Di sisinya, Maria Qibthi pun tak henti menangis.
Setelah tubuh Ibrahim tak lagi bergerak, tanda nyawa sudah lepas dari jasad, air mata Rasulullah semakin berlinang. Para sahabat menyaksikan, betapa Nabi sangat kehilangan atas kepergian Ibrahim.
Dalam satu hadis diterangkan, “Sungguh mata ini meneteskan air mata dan hati ini dirundung duka. Namun, kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridai Tuhan kami. Sungguh, kami bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim.” (HR Bukhari)
***
Orangtua mana yang tak hancur hatinya menatap kepergian anaknya, meski kepergian itu untuk menemui Tuhannya?
Inilah yang tengah terjadi atas pasangan Ridwan Kamil dan istrinya, Atalia Praratya. Emmeril Kahn Mumtadz (Eril), satu dari dua anak mereka, si sulung yang kasep, pintar, saleh, santun, penyejuk hati, hilang dalam derasnya sungai di negeri orang dan tak kunjung ditemukan, meski hanya raga tanpa jiwa.
Dari Sungai Aare, Bern, Swiss, duka merambat cepat hingga Indonesia. Tak terhitung warga Tanah Air yang ikut larut dalam duka. Simpati, dukungan, dan doa dari berbagai penjuru negeri datang tiada henti kepada Sang Gubernur dan keluarga.
Meski mungkin ingin lebih, yang dapat diberikan memang “hanya” doa dan empati. Ia merupakan bentuk dukungan, wujud solidaritas. Sebatas mencoba, berupaya, (ikut) merasakan kesedihan, tanpa “hadirnya” kesedihan itu sendiri. Karena sejatinya, kesedihan yang nyata kali ini memang “milik” Emil dan Lia, juga Zara (adik Eril), dan keluarga terdekatnya.
Ketika akhirnya Emil dan Lia memutuskan untuk pulang ke Indonesia, setelah lebih sepekan pencarian, simpati, dukungan, dan doa terus menggema.
Banyak yang tak kuasa menahan air mata saat membaca “surat cinta” Atalia untuk Eril yang dipostingnya di media sosial: Ril… Mamah pulang dulu ke Indonesia, ya.. Mamah titipkan kamu dalam penjagaan dan perlindungan terbaik dari pemilikmu yang sebenarnya, Allah swt, di mana pun kamu berada… Insya Allah kamu tidak akan kedinginan, kelaparan, atau kekurangan apa pun. Bahkan kamu akan mendapatkan limpahan kasih sayang, karunia dan kebahagiaan yang tak pernah putus. Seperti yang Pak Wali Kota sampaikan, “The city of Bern will forever be deeply connected to us…” Doa terbaik Mamah dalam setiap helaan nafas.
Orang yang sekadar membaca pun patah hatinya. Apalagi yang menulis. Yang mengalami, yang merasakan apa yang dia tulis. Pasti patah, pasti hancur, remuk, sebenar-benarnya remuk.
Kehilangan anak, siapa pun yang mengalami, pasti sama rasanya: pedih, perih. Kaya-miskin, pejabat-rakyat, publik figur-orang awam, sama hancurnya. Jangankan ditinggal mati, anak pulang terlambat, atau demam saja, orangtua gundah gulana.
Namun, mungkin Tuhan memiliki maksud tertentu atas hilangnya Eril. Dari musibah besar yang menimpa Ridwan Kamil dan keluarga, kita kembali tersadar bahwa setiap orang punya air matanya sendiri. Musibah bisa terjadi kepada siapa saja. Duka bisa menimpa siapa saja.
Tidak ada manusia yang melulu bergelimang tawa, ada kalanya dia harus menangis. Tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya duka nestapa, ada masanya dia bahagia.
Tuhan telah berjanji, tak akan menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya. La yukallifullahu nafsan illa wus’aha (Al Baqarah 286). Dan karena kita punya iman, kita percaya Tuhan tak akan mengingkari janjinya.
Tuhan hanya menguji mereka yang terpilih. Ujian terberat hanya diberikan kepada mereka yang terkuat. Emil dan Lia adalah manusia pilihan, karena mereka kuat, karena mereka tangguh. Mereka adalah manusia-manusia hebat dengan hati yang pejal, kuat, dan jembar. Kita yang tidak terpilih, bisa jadi karena kita tidak setangguh mereka, tak sekuat mereka.
Dari Emil dan Lia, Tuhan mungkin menyuruh kita untuk belajar. Mengingatkan kita untuk terus bersyukur. Mengingatkan kita bahwa di antara begitu banyak nikmat, anugerah, ada satu yang begitu besar: keluarga yang utuh, anak-anak yang sehat, anak-anak yang saleh, para penyejuk mata-penghibur hati.
Sebagai manusia, Ridwan Kamil nyaris “sempurna”. Dia tampan, berpendidikan tinggi, pintar, karier sangat baik, kaya, berkuasa, dan mahsyur. Dengan istri cantik, dua anak yang hebat, dia memiliki semua syarat untuk bahagia. Tapi kini, kalaulah bisa menukar Eril dengan seluruh harta, kuasa, atau popularitasnya, dia pasti rela memberikan semuanya.
Emil dan Lia, juga Zara, telah pulang ke Tanah Air. Meninggalkan harapan, kenangan pilu, dan sebuah “tanda” kepergian Eril di satu sudut Sungai Aree nan cantik.
Eril pergi pada 26 Mei 2022 lalu dalam derasnya aliran sungai—bentang alam yang dalam beberapa firman-Nya diilustrasikan Tuhan sebagai satu “ornamen” di taman surga.
“Di sana (surga) ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka…” (QS Muhammad 15)
Pagi tadi, penyair Isbedy Stiawan Z S membuat satu puisi. Puisi untuk Eril, untuk Ridwan Kamil dan keluarganya. Puisi tak berjudul ini sangat indah. Perih, tapi syahdu:
sungai ini tak akan berhenti
hanya di arus airnya; sebab kita
telah mencatat. biarpun perih
maupun riang
sungai ini tetaplah sungai. deru
airnya, elok tubuhnya. kita telah
basuh tubuh di sana. di dingin
ataupun lebih dari itu
namamu terpatri. tanganku
membekas di sana. ketika
datang untuk menjemput
maupun sekadar menyeruput
sungai ini, sayang, tak akan
pernah berubah nama. ada air
di sana. juga air mata
yang sedih menunggumu
biarpun jauh pergi
sungai ini tetap menyimpan
namamu dalam arusnya…
Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Selamat jalan Eril. Kau tidak tenggelam. Hanya sedang berenang dengan riang menemui penciptamu. Engkau pulang duluan, menyiapkan surga terindah untuk kedua orangtuamu.***
*Juwendra Asdiansyah adalah seorang kolumnis, berhikmat di PW Nahdlatul Ulama Provinsi Lampung. Tulisan ini juga dimuat di teraslampung.com