“Double Job”, Efektifkah?

Sumber: google

TERASJABAR.CO.ID — Karena sejumah alasan, terutama alasan efisiensi, banyak perusahaan menerapkan rangkap pekerjaan kepada karyawannya. Seberapa efektifkah langkah ini bagi perusahaan dan juga karyawan itu sendiri?

Masalah kinerja karyawan merupakan hal yang pasti dihadapi oleh perusahaan mana pun. Tidak sedikit karyawan yang ternyata tidak mampu memenuhi atau membuktikan ekspektasi perusahaan yang dibebankan di pundaknya. Perusahaan lantas dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tak mengenakkan; memberhentikan karyawan bersangkutan, atau memberi dia pelatihan dan itu artinya perusahaan harus membuat pengeluaran lagi karena pelatihan karyawan membutuhkan dana yang tidak kecil.

Akan tetapi, banyak perusahaan justru mengambil kebijakan lain; yaitu berhentikan karyawan yang tak qualified untuk kemudian menerapkan sistem rangkap pekerjaan pada karyawan lainnya atau dalam istilah lain menuntut karyawan yang ada untuk melakukan multitasking. Langkah ini biasanya diambil karena alasan efisiensi dan efektivitas perusahaan, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang terbilang kecil.

Namun, dalam kondisi normal pun, sejatinya banyak perusahaan yang menerapkan dan bahkan mendorong karyawannya untuk bisa menangani beberapa hal sekaligus. Karena itu, ruang kantor pun didesain sedemikian rupa menjadi tanpa sekat sehingga memungkinkan dialog antarkaryawan bisa terjadi kapan saja dengan topik pembicaraan beragam. Sementara, pekerjaan mewajibkan karyawan menangani tugas berbeda pada waktu yang sama.

Di lain sisi, hari-hari karyawan juga sudah dipenuhi dengan gangguan yang terus-menerus datang. Email, whatsapp, SMS atau chat, rapat, kolega yang membutuhkan bantuan, atau hal lainnya nyaris selalu dihadapi para karyawan setiap hari. Seolah-olah, sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia modern dituntut untuk mampu menjalankan banyak aktivitas dalam satu waktu.

Jebakan Mitos

Jamak diketahui, karyawan pun tidak banyak menolak permintaan perusahaan untuk melakukan rangkap jabatan. Selain karena si karyawan tidak punya bargaining position untuk mampu menolak, umumnya mereka juga tergiur dengan iming-iming honor tambahan yang ditawarkan jika mau melakukan “pekerjaan ekstra”-nya.

Artinya, rangkap pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan sebenarnya bisa bermula faktor psikologis karyawan itu sendiri. Seperti dikutip dari bbc.com, Direktur Eksekutif Greater Good Science Center di University of California, Berkeley Dr. Christine Carter mengatakan, masalah rangkap pekerjaan atau multitasking sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Banyak orang terjebak pada pemaknaan sempit akan istilah, “karyawan yang baik adalah karyawan yang sibuk”.

Menurut Carter, saat kita melakukan sesuatu bersamaan, seperti membalas email sambil menulis laporan atau menelepon sambil berada di pertemuan, kita merasa sibuk dan produktif. “Sibuk adalah tanda orang penting, dan ini keyakinan lama. Ada juga mitos bahwa semakin lama Anda berada di kantor, maka Anda adalah pekerja yang baik,” ujar Carter.

Sikap seperti itu, menurut Carter merupakan sisa-sisa masa kejayaan industrialisasi, ketika kita mengecek absen masuk dan pulang di pabrik dan kantor-kantor. Dulu, mitos itu dapat diterima karena biasanya orang meninggalkan pekerjaan di kantor ketika sudah selesai dan baru pulang pada malam harinya.

Saat ini, sikap seperti itu sudah dianggap berlebihan, terlebih dengan semakin pesatnya teknologi informasi. “Dan yang lebih menyulitkan lagi, teknologi mengubah otak kita menjadi kecanduan akan interupsi, karena kita berharap cemas menunggu tanda ‘ping’ ketika ada email baru, atau chat, atau unggahan media sosial,” imbuh Carter. Lama-kelamaan, imbuh Carter, manusia menjadi kecanduan dengan interupsi-interupsi semacam itu.

Risiko

Seperti halnya kecanduan-kecanduan lain, kita tahu interupsi itu buruk bagi kita tetapi kita kesulitan untuk melepaskannya. Seperti yang dialami Dr. Christine Carter sendiri yang sampai harus menjalani perawatan di rumah sakit karena kelebihan beban kerja. Karena itu, ia memutuskan untuk berhenti melakukan multitasking.

Sejumlah penelitian memastikan, multitasking bukanlah langkah efektif yang bisa diambil—baik oleh perusahaan maupun individu karyawan. Banyak peneliti mengatakan, mengerjakan banyak tugas secara bersamaan membuat seseorang lebih tidak produktif. Sebaliknya, dengan hanya mengerjakan satu tugas saja dalam satu waktu, justru akan semakin memungkinkan seseorang menyelesaikan banyak pekerjaan.

Penulis buku Singletasking Devora Zack bahkan berani memastikan, “Yang dilakukan (multitasking -Pen) itu bukan mengerjakan tugas sekaligus, dan itu banyak memakan korban,” ujar Zack.

Masih dikutip dari laman yang sama, Dr. Sandra Bond Chapman, Pendiri dan Direktur Utama Center for BrainHealth, The University of Texas, Dallas, Amerika Serikat, mengingatkan risiko yang mungkin ditimbulkan dari kondisi multitasking. Menurut dia, multitasking  akan menghasilkan pemikiran dangkal, mengurangi kreativitas, meningkatkan kesalahan, dan menurunkan kemampuan kita untuk memblok informasi yang tidak relevan.

Karena otak tak dirancang untuk melakukan multitasking, maka semakin lama otak akan mengalami tingkat stres dan depresi yang meningkat dan menurunkan kemampuan intelektual secara umum, katanya. Sialnya, kondisi inilah yang kini justru tengah menghinggapi umumnya masyarakat kita.

Begitu parahnya sampai-sampai Zack mengatakan bahwa kondisi ini merupakan sebuah sindrom. “Masyarakat kita menderita sindrom otak berserak. Ini terjadi di mana-mana, bukan hanya di pekerjaan tapi juga kehidupan pribadi,” tegas Zack.

Bagaimana Seharusnya?

Judi WIneland, seorang pengusaha asal Amerika Serikat, pada awalnya merasa terasing dan sempat menyalahkan diri sendiri ketika ia merasa tidak mampu mengimbangi anak-anak muda yang begitu “trengginas” mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan. Mereka, anak-anak muda itu, begitu piawai mengerjakan tugas sekaligus membalas chat atau email-email yang masuk tanpa sedikit pun merasakan adanya gangguan. Hal itu terjadi di awal 1990-an, ketika pertama kali instant messenger atau chat mulai populer.

“Saya melihat anak-anak ini mengerjakan beberapa tugas sekaligus dan saya merasa ada yang salah dengan saya,” kata Wineland, yang sudah menjalankan perusahaan perjalanan petualangan sejak 1978 dan kini mengurus dua perusahaan di AS, AdventureWomen and Thomson Safaris.

Menyadari bahwa dirinya merasa tidak mampu dalam melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking), Wineland pada akhirnya mengambil sikap untuk fokus pada tugas yang dihadapinya satu demi satu. “Intinya, saya mengabaikan gangguan yang datang secara reguler, dan ternyata itu punya keuntungan; saya jadi lebih baik dalam mengelola perusahaan saya,” ujar Wineland, seperti dikutip bbc.com.

Ilustrasi yang ditunjukkan Wineland menunjukkan, tidak ada kerugian yang buruk ketika seseorang—baik pengusaha sendiri maupun karyawan—memilih untuk melakukan singletasking. Bahkan bagi karyawan, fokus terhadap satu bidang pekerjaan dapat mendorong dia menjadi seorang spesialis atau orang yang menguasai satu skill dengan lebih mendalam. Hal tersebut pada gilirannya akan memberi ruang bagi karyawan tersebut untuk lebih kreatif, inovatif, dan berimprovisasi terhadap tugas-tugas yang dihadapinya.

Di samping itu, mental karyawan pun dengan sendirinya akan lebih sehat dan produktif. Bukankah pada akhirnya perusahaan sendiri yang akan memetik keuntungannya?

Rois Said/DBS